Minggu, 30 September 2012

Peristiwa G 30 S / PKI versi Dr. Soebandrio


Peristiwa G 30 S / PKI versi Dr. Soebandrio batal beredar, penulis Memoar tokoh penting Era Orde Lama itu adalah wartawan senior Jawa Pos Djono W. Oesman. Bagaimana sebenarnya isu buku yang peredarannya dibatalkan, kendati sudah dicetak 10 ribu eksemplar oleh Gramedia itu ?

HARI ini, 39 tahun silam, meletus G 30 S yang tak habis-habisnya dibicarakan. Lebih dari 110 buku berbahasa Inggris dan 35 buku berbahasa Indonesia mengupas hal tersebut. Yang terbaru, Presiden Megawati meminta agar Mendiknas membuat buku tentang hal itu dan menunjuk sejarawan Taufik Abdullah memimpin tim penulis. Salah satu diantara ratusan buku G 30 S tersebut adalah memoar Dr Soebandrio. Soebandrio( almarhum ) merupakan orang yang sangat penting dalam sejarah G 30 S . Saat itu, dia merangkap tiga jabatan, Yakni, wakil perdana mentri I, mentri luar negeri, dan kepala Badan Pusat Intelijen (kini BIN). Tapi, tentu saja isi buku itu sangat subjektif. Sebab, semuanya murni versi Soebandrio. Dia menuturkan semuacerita tersebut antara Oktober 1999 hingga September 2000 selepas dibebaskan dari penjara. Berikut cuplikan memoar yang terfokus pada kejadian 30 September dan 1 Oktober 1965 yang dituturkan Soebandrio dengan gaya saya:

Kamis Kliwon, 30 September (persis dengan hari ini) 1965, setelah menyelesaikan tugas-tugasnya di Istana. Negara, Presiden Soekarno pulang ke Wisma Yaso ( kini Musium Satria Mandala ). Di sana, beliau bersama istri Ratna Sari Dewi. Sehari sebelumnya, Panglima AU Oemar Dhani melapor kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan dari daerah yang masuk ke Jakarta. Beberapa hari sebelumnya, saya melaporkan adanya kelompok perwira AD yang tidak puas terhadap presiden. Mereka membentuk\ Dewan Jendral yang kabarnya akan melakukan kudeta. Bung Karno tahu, ada yang tidak beres pada elite pimpinan AD. Buktinya, beberapa hari sebelumnya, beliau memerintahkan Menpangad Letjen A.Yani menghadap presiden. Jadwal pertemuanya 1 Oktober 1965, pukul 08.00 WIB, di istana. Topik pembicaraanya; Isu Dewan Jendral. Rencana itu batal karena Yani dibunuh sekitar lima jam sebelumnya. Sementara itu, Pangkostrad Mayjen Soeharto sejak kamis siang menunggu anaknya, Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto) di RSPAD Gatot Subroto. Tommy saat itu berusia tiga tahun dirawat di sana karena ketumpahan sup panas. Menjelang malam, Kolonel Abdul Latief ( Komandan brigade Infanteri Jaya Sakti, Kodam Jaya) menemui Soeharto di RSPAD Gatot Subroto.

Berdasarkan cerita Kolonel Untung ( pengawal presiden Soekarno dari Cakra Bhirawa ) kepada saya ketika kami bersama-sama dipenjara di Cimahi, Bandung, seharusnya malam itu ada tiga perwira yang menemui Soeharto.Yakni, Latief, Untung, dan Brigjen Soepardjo (Pangkopur II Kostrad). Sebelum bertemu Soeharto, mereka rapat disuatu tempat. Akhirnya diputuskan, Latief yang menghadap Soeharto untuk melaporkan bahwa pasukan penangkap Dewan Jendral sudah siap bergerak. Latief lantas kembali menemui Untung dan Soeparjo yang menunggu di suatu tempat. Latief melapor kepada dua rekannya bahwa Soeharto berada di belakang mereka. Tentang dukungan Soeharto menangkap anggota Dewan Jendral itu diperjelas oleh cerita Untung kepada saya selama dipenjara. Katanya, pada 15 September 1965, dia mendatangi Soeharto. Meski tidak berada di satu garis komando, Untung dan Soeharto adalah sahabat lama saat mereka sama-sama di Divisi Diponegoro, Jateng. Jadi, itu pertemuan antar sahabat lama. Tapi, membicarakan masalah yang sangat penting.

Di pertemuan itu, Untung melaporkan adanya isu Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta. Untung lantas menyampaikan gagasan, akan mendahului gerakan Dewan Jendral dengan menangkap mereka lebih dahulu sebelum mereka bergerak. Ternyata Soeharto mendukung, bahkan siap membantu mendatangkan pasukan. Karena itu, Untung meski divonis hukuman mati tenang-tenang saja. Dia mengatakan kepada saya, Pengadilan ini hanya sandiwara, Ban. Wong rencana saya didukung Pak Harto, katanya. Toh, akhirnya dia dieksekusi juga. Menjelang dini hari 1 Oktober 1965, Soeharto pulang dari RSPAD Gatot Subroto menuju ke Makostrad. Saat itu, sejumlah pasukan yang siap menangkap tujuh jendral sedang berkumpul di dekat Monas. Beberapa jam kemudian (1Oktober 1965). Tujuh Jendral itu benar-benar ditangkap dan dihabisi. Sebagian ditembak dirumah saat penangkapan, sebagian dibunuh di Lubang Buaya, Pondok Gede. Apa yang terjadi kemudian? Bagaimana Presiden Soekarno, DN Aidit, dan Oemar Dhani bisa berada di Halim (dekat Pondok Gede) pada pagi buta 1 Oktober 1965 ? Soebandrio memang controversial, baik sejak berjayanya dijaman Bung karno maupun setelah dipenjara Orde Baru. Dalam pengakuaanya kepada Djono W. Oesman, wartawan Koran ini, kontroversi itu juga bertaburan.

Berikut lanjutan penuturan Soebandrio.

PERTANYAAN penting dalam sejarah G 30 S adalah : mengapa di pagi buta 1 Oktober 1965 saat tujuh Jendral dibantai di Lubang Buaya, beberapa tokoh nasional berada di Halim ( dekat Lubangt buaya?) Berikut cuplikan memoar Dr.Soebandrio ( wafat 3 Juli

2004 ) yang ditulis antara Oktober 1999- September 2000 itu. Kawasan Halim pada dini hari itu seperti menjadi sentra berkumpulnya tokoh tokoh nasional sekaligus tempat pembantaian para jendral. Disana ada Presiden Soekarno, Menko / Ketua MPRS D.N.Aidit dan Menpangau Oemar Dhani. Mereka tidak berkumpul di satu tempat, juga tidak datang bersamaan, bahkan mereka datang kesana tanpa koordinasi. Bung Karno menjelang dini hari itu mendapat telepon, bahwa baru saja terjadi penculikan beberapa jendral.

Malam itu beliau tidur dirumah Wisma Yaso bersama istri Dewi Soekarno.Begitu mendapatkan telepon, dia langsung berangkat dengan dikawal ajudan Parto yang sekaligus menjadi sopir. Dari Wisma Yaso mobil meluncur keutara menuju istana.Tetapi menjelang tiba diistana, tampak ada blokade jalan. Sejumlah pasukan bersenjata siaga dilokasi blokade. Ajudan Parto kaget.Tidak ada pemberitahuan kepada ajudan presiden bahwa ada blokade di sekitar istana. Menurut Suparto itu pasukan tak dikenal. Parto lantas mengambil inisiatif memutar haluan, mobil berbalik arah.

Sebelum Bung Karno bertanya tanya, Parto mengatakan, sebaiknya kita ke Halim saja pak. Kalau ada apa apa dari Halim akan dengan cepat terbang ketempat lain. Bung Karno menurut saja.Dalam protokoler pengamanan presiden, jika pengawal merasa bahwa presiden dalam bahaya, pengawal harus secepatnya membawa presiden ke bandara.Dengan inisiatif Parto memutar haluan, berarti dia mengganggap presiden dalam bahaya. Setelah Bung Karno tiba di Halim, baru ajudan menjelaskan kondisi bahaya itu.Disana Bung Karno lantas ditemani Oemar Dhani selalu Menpangau yang bertanggung jawab terhadap keamanan bandara. Beberapa saat kemudian Brigjen Soepardjo ( Pangkopur II Kostrad ) yang tadi malam bersama Kolonel Abdul Latief dan Letkol Untung melapor ke Soeharto di RSPAD

Gatot Soebroto tentang persiapan pasukan penjemput para jendral, melapor ke Bung Karno. Soepardjo melaporkan, tujuh jemdral telah diculik. D.N.Aidit dini hari itu juga berada di Halim. Ini sungguh aneh.Aidit saat itu berada di sebuah rumah disekitar Halim.Dia tidak berada disatu tempat dengan Bung Karno dan Oemar Dhani. Beberapa hari kemudian saya didatangi istri Aidit. Dia berceritera bahwa pada Kamis 30 September 1965 malam, rumahnya didatangi beberapa tentara berseragam lengkap, suami saya diculik katanya. Dengan keberadaan Aidit di Halim pada dini hari dan cerita istrinya, bahwa dia dijemput tentara pada malamnya, biisa disimpulkan, bahwa malam itu Aidit dibawa tentara menuju Halim. Pagi itu, dari Pangkalan Halim Presiden Soekarno mengeluarkan instruksi yang disampaikan melalui radiogram ke Markas Besar ABRI. Isi instruksi tersebut: semua pasukan harap stand by di posisinya masing2.Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah saya selaku presiden dan panglima tertinggi ABRI.Semua persoalan akan diselesaikan pemerintah/presiden.Hindari pertumpahan darah.

Saat itu Bung Karno hanya mendapatkan informasi, bahwa 7 jendral tersebut dibunuh. Instruksi itu lantas disambut Soeharto dengan perintah agar Letkol Untung dan kawan kawan ditangkap secepatnya. Jelas, hal itu membingungkan Untung.Dia sudah melapor ke Soeharto soal Dewan Jendral yang akan melakukan kup dan menyampaikan gagasan mendahului geraksan Dewan Jendral dengan menangkap mereka.

Semua itu didukung Soeharto.Bahkan Soeharto memberikan bantuan pasukan dari Kodam Siliwangi. Sekarang Soeharto malah memerintahkan agar Untung ditangkap. Hampir bersamaan dengan keluarnya instruksi Presiden Soekarno, Soeharto memanggil salah satu ajudan Bung Karno Bambang Widjanarko yang berada di Halim agar segera menghadap dirinya di Makostrad. Di Makostrad Bambang diberi tahu Soeharto agar Presiden Soekarno dibawa pergi dari pangkalan Halim. Sebab pasukan dari Kostrad dibawah pimpinan Sarwo Edhi Wibowo sudah disiapkan untuk menyerbu Halim. Saat pesan ini disampaikan Bambang kepada Bung Karno, jelas Bung Karno geram sekaligus bingung.Instruksi Bung Karno agar semua pasukan stand by di posisi masing2 ternyata tidak ditaati Soeharto.Sebaliknya Soeharto malah memerintahkan agar Soekarno menyingkir dari Pangkalan Halim. Bung Karno lantas meminta nasihat para pembantu

militernya. Brigjen Soepardjo mengusulkan agar Bung Karno terbang ke Bali,.Menpangau Oemar Dhani mengusulkan terbang ke Madiun, Jatim. Wakil Perdana Menteri II Leimena yang pagi itu sudah berada disana mengusulkan, langkah paling hati hati adalah ke Istana Bogor lewat jalan darat.Sebab jaraknya paling dekat dengan Jakarta dan naik pesawat sangat berbahaya terhadap kemungkinan tembakan. Dari berbagai usul itu Bung Karno menganggap bahwa dirinya memang sedang dalam bahaya.Akhirnya dia

memutuskan menuju Istana Bogor lewat darat. Rangkaian peristiwa tersebut bergerak sangat cepat dan detik ke detik, dari menit kemenit.Sulit dibayangkan, bagaimana mungkin posisi presiden bisa begitu terdesak hanya dalam beberapa jam akibat penculikan para jendral yang bagi presiden Soekarno saat itu belum jelas dilakukan oleh siapa. Beberapa saat setelah Bung Karno meninggalkan Halim, pasukan dibawah pimpinan Sarwo Dhie Wibowo memang bergerak ke Halim menyerbu pasukan penangkap dan pembunuh para jenderal ( djono w. oesman ) Kita berdoa : Semoga nubuat Daniel 12:4, apa yang belum terungkap, akan terungkap diakhir jaman ini, Siapa Dalang Peristiwa Berdarah Ini????

Dilayani oleh : Bambang Wiyono

Berita Jawa Pos 1 dan 2 Oktober 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments