Jumat, 05 Oktober 2012

Inggit Garnasih , Kuantar ke Gerbang, “Selamat jalan. Semoga selamat dalam perjalanan.”


Ia terlahir dengan nama Garnasih saja. Garnasih merupakan singkatan dari kesatuan kata Hegar Asih, dimana Hegar berarti segar menghidupkan dan Asih berarti kasih sayang. Kata Inggit yang kemudian menyertai di depan namanya berasal dari jumlah uang seringgit. Diceritakan bahwa Garnasih kecil menjadi sosok yang dikasihi teman-temannya. Begitu pula ketika ia menjadi seorang gadis, ia adalah gadis tercantik di antara teman-temannya. Diantara mereka beredar kata-kata, "Mendapatkan senyuman dari Garnasih ibarat mendapat uang seringgit." Banyak pemuda yang menaruh kasih padanya. Rasa kasih tersebut diberikan dalam bentuk uang yang rata-rata jumlahnya seringgit. Itulah awal muda sebutan "Inggit" yang kemudian menjadi nama depannya.

Inggit Garnasih awalnya adalah ibu kos bagi Soekarno. Ketika itu, Soekarno baru saja datang dari Surabaya. Ia datang ke Bandung pada 1920 untuk menempuh studi di sekarang ITB). Atas rekomendasi HOS Cokroaminto, mentor Soekarno di Surabaya, Soekarno pun tinggal di rumah Inggit Ganarsih yang ketika itu menjadi istri Sanusi, seorang pengusaha menengah yang juga menjadi pengurus Sarekat Islam afdeling (cabang) Bandung.

Soekarno ketika itu masih menjadi suami dari Utari, putri HOS Cokroaminoto. Tapi hubungan suami istri keduanya tak berjalan mulus. Soekarno lebih merasa sebagai abang ketimbang seorang suami. Kedatangan Utari ke Bandung tak berhasil mengubah keadaan.

Entah kenapa, barangkali karena sehari-hari berdekatan, Soekarno berani curhat semua persoalan keluarganya kepada Inggit. Dan Inggit, laiknya seorang ibu kos yang baik, dengan sabar mendengar keluh kesah anak kosnya yang perlente dan bersemangat itu. Sesekali Inggit memberi masukan agar Soekarno berusaha memerbaiki hubungannya dengan Utari.

Tapi saran Inggit tak pernah berhasil direalisasikan Soekarno. Akhirnya, setelah berpikir matang-matang, Soekarno mengembalikan Utari kepada ayahnya, Cokroaminoto. Mereka bercerai, dan konon kabarnya, tanpa sempat sekalipun mengadakan hubungan suami istri.

Sekembalinya dari Surabaya, diselingi kerja kerasnya belajar dan beraktivitas, Soekarno makin dekat saja dengan Inggit. Tak urung, hembusan gunjingan pun menerpa. Sadar akan situasi keluarganya, Sanusi pun melepas Inggit. Sanusi, dengan keikhlasannya yang luar biasa, menyarankan agar Inggit merawat dan membantu Soekarno sebisanya.

“Akang rido,” kata Sanusi, “Kalau Eulis (Inggit) menerima lamaran Kusno (Soekarno) dan kalian berdua menikah. Mari kita jagokan dia, sehingga ia benar-benar menjadi orang penting. Mari kita bantu dia sampai ia benar-benar menjadi pemimpin rakyat. Dampingi dia, bantulah dia, sampai ia benar-benar mencapai cita-citanya,” kata Sanusi.

Mereka pun menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung. Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda.

Dan Inggit tampaknya berhasil. Ya, Inggit benar-benar menjadi pendamping yang tidak hanya setia, melainkan juga menjadi seorang pendukung Soekarno yang paling aktif dan militan.
Soekarno mungkin seorang singa podium, tetapi ia tak ubahnya Hamlet yang rapuh dan selalu kesepian ketika sendiri dan jauh dari massa. Ia adalah seorang revolusioner yang dengan perkasanya mengobarkan perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi sebetulnya ia adalah lelaki yang bahkan menyembelih seekor ayam pun tak sanggup. Soekarno adalah lelaki yang sangat membutuhkan afeksi. Kasih sayang. Ia membutuhkan figur seorang ibu. Ia sudah sering bertemu dengan noni-noni Belanda yang cantik, tapi ia butuh seorang perempuan yang bisa menemaninya tiap detik, bahkan di saat-saat yang terpedih sekalipun. Inggit adalah jawaban atas semua kebutuhan psikologis Soekarno itu.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengenal emosi dirinya sendiri sehingga ia dapat mengendalikan emosinya, mengenal emosi orang lain sehingga seseorang mempunyai keterampilan bergaul, dan dapat membina hubungan baik dengan orang lain. Kecerdasan emosi macam ini pula yang dimiliki Inggit sehingga ia mampu memetakan dan membaca struktur mental Soekarno, apa yang diinginkan Soekarno, dan bagaimana cara memerlakukan Soekarno. Tidak aneh rasanya jika kemudian kita menemukan betapa Inggit seperti tahu apa yang dibutuhkan Soekarno, apa yang diinginkan Soekarno dan bagaimana menjawab semua kebutuhan itu dengan proporsional.

Dengan ditemani seorang sekondan yang memiliki kecerdasan emosional di atas rata-rata, Soekarno pun naik pelahan tapi pasti ke langit-langit pergerakan nasionalisme di Hindia Belanda. Dengan Inggit yang telaten, Seokarno mampu menyelesaikan kuliahnya kendati aktivisme politik makin membuatnya kehilangan waktu. Bersama seorang sekondan yang punya karat kesetiaan tak tertandingi itulah, tak aneh jika Soekarno bisa melewati karang-karang terjal.

Tetapi Inggit akhirnya juga menjadi kartu mati bagi seorang Soekarno. Ketika usia Soekarno makin beranjak tua, hasrat untuk menimang anak tentu saja makin tak terbendung. Sayangnya, Inggit tak bisa memberinya buah hati. Ia perempuan mandul. Sebuah drama kehidupan datang ketika Soekarno sedang diasingkan ke Bengkulu. Soekarno justru terpikat oleh salah satu anak angkatnya sendiri, Fatmawati. Kedekatan keduanya makin tak tertahan ketika Inggit harus pergi ke Yogya untuk mengantarkan Omi, putri angkat Soekarno yang pertama, mendaftar sekolah di Taman Siswa.

Sekembalinya dari Yogya, Inggit menyadari situasi telah berubah. Awalnya Soekarno ingin memadu Inggit. Tapi Inggit menampik. Ia mengijinkan Soekarno menikah tapi minta diceraikan terlebih dahulu. Perceraian itu pun terjadi pada 1942 ketika mereka sudah tinggal di Pegangsaan Timur, Jakarta. Inilah yang membuat riwayat Inggit menjadi istimewa. Ia memang mencintai Soekarno luar dalam; sebuah kecintaan yang membuatnya rela menderita dan melarat. Tetapi, kecintaan itu tak membuatnya kehilangan karakter sebagai seorang perempuan agung. Dari hulu hingga hilir, Inggit tetap konsisten menolak poligami, bahkan ketika ia harus kehilangan lelaki yang sangat dicintainya.

Perceraian itu membuat Inggit kehilangan kesempatan menikmati masa-masa emas menjadi istri Soekarno. Jika ia menerima dimadu, boleh jadi dirinyalah yang akan jadi ibu negara dan menikmati sejumlah fasilitas. Tapi Inggit telah memutuskan. Ia tampaknya menyadari bahwa tugasnya sebagai istri Soekarno telah usai. Ia telah menunaikan dengan sebaiknya-baiknya sebuah tugas historis untuk mengantarkan seorang lelaki besar yang pernah dilahirkan bangsa ini sampai ke pintu gerbang cita-citanya.

Ramadhan KH mengakhiri bukunya, Kuantar ke Gerbang, dengan sebuah fragmen singkat yang menyentuh. Hari itu, Soekarno datang ke Bandung bersama istrinya, Inggit Garnasih. Dengan ditemani Mas Mansur, Soekarno membawa Inggit ke jalan Lengkong Besar, menuju kediaman Haji Anda. Di sana, Soekarno bermaksud mengembalikan Inggit kepada keluarganya. Saat itu juga, lewat sebuah pertemuan yang kaku nan hambar, Inggit resmi diceraikan dan dikembalikan kepada keluarganya.

Ada yang penting untuk dikenang dari kejadian itu. Persis hanya beberapa kerjap sebelum rombongan Soekarno hendak angkat koper, Inggit sempat bersalaman dengan Soekarno. Di detik persentuhan yang terakhir itu, Inggit mencurahkan sepucuk doa yang bersahaja: “Selamat jalan. Semoga selamat dalam perjalanan.”

Sepucuk doa Inggit itu bukanlah sesuatu yang bersahaja. Sepucuk doa itu bukan semata berisi harapan agar Soekarno sampai ke Jakarta dengan selamat tanpa suatu apa, melainkan jauh lebih besar dari itu. Doa yang bersahaja Inggit sebenarnya adalah harapan agar cita-cita dan visi besar Soekarno, lelaki yang siang itu telah menjadi mantan suaminya, betul-betul selamat hingga mewujud menjadi realitas sejarah. Dan, di balik doa yang pendek itu, terukir sebuah kisah cinta yang indah, bergelora, menggugah, sekaligus juga penuh dengan keganjilan; sebuah kisah cinta yang, diakui atau tidak, menjadi salah satu bagian penting nan indah yang tak bisa diabaikan begitu saja dari keseluruhan episode perjalanan bangsa ini mencapai kemerdekaannya.

Kuantar ke Gerbang, “Selamat jalan. Semoga selamat dalam perjalanan.”

Sumber Artikel : http://www.indonesiagituloh.com/index.php/nasional/12-inggit

Selasa, 02 Oktober 2012

LETKOL UNTUNG KORBAN KONSPIRASI SOEHARTO-AIDIT


Published by MiRa on 05/Jan/2008 (779 reads)

 Sumber SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html


JAKARTA, (TNI Watch!, 29/9/99). Baru-baru ini redaksi TNI Watch! mendapat informasi dari seorang mantan tapol (Letkol Pnb Hr). Beliau adalah seorang perwira intelijen AURI, saat peristiwa “G.30.S” meletus. Ketika
mendekam di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo, Jakarta Pusat, sumber kami sempat berbincang-bincang dengan Sudisman (salah seorang anggota Politbiro CC PKI), seputar peristiwa tersebut, tentunya dari sudut pandang Sudisman. Tulisan berikut adalah pandangan Sudisman, sebagaimana yang
diceritakannya kepada sumber kami.

Menjelang peristiwa G30S, telah muncul tiga faksi dalam Politbiro CC PKI.
Masing-masing adalah:
1. Faksi DN Aidit (didukung MH Lukman).
DN Aidit adalah Ketua CC – PKI, dan MH Lukman sebagai Wakil Ketua I
2. Faksi Sudisman (Sekretaris CC – PKI)
3. Faksi Nyoto (Wakil Ketua II CC – PKI

Terpecahnya Politbiro (PB) dalam tiga faksi, karena beberapa hal, bisa karena orientasi politik, gaya kepemimpinan masing-masing pribadi dalam PKI, dan kepentingan politik yang juga personal. Sudisman misalnya punya akar yang kuat di kaum buruh. Sedang Nyoto dianggap terlalu condong ke Moskow, berbeda dengan Aidit yang berorientasi ke Beijing.

Pertanyaan menarik: bagaimana keterkaitan faksi-faksi tersebut dengan G30S?

Ternyata yang memainkan peran hanyalah Faksi Aidit, sedang dua faksi lainnya praktis tidak tahu sama sekali, tentang adanya rencana gerakan.
Mulai persiapan gerakan, hingga pelaksanaan, dari unsur Politbiro (PB), hanya Aidit yang aktif. Dua faksi lain tidak dilibatkan, karena memang pecah. Dan tampaknya memang hanya persoalan kepentingan politik Aidit semata.

Untuk kepentingan politiknya (untuk tidak menyebut ambisi pribadi), Aidit lebih banyak berhubungan dengan Biro Chusus PKI (selanjutnya BC), dengan Ketuanya adalah Sjam Kamaruzaman. Singkat cerita, Aidit bersama BC-lah yang lebih banyak berperan dalam merancang dan mengendalikan peristiwa. Aktivitas Aidit bersama Sjam ini, bersifat klandestin, artinya tidak diinformasikan kepada unsur pimpinan Partai. Jadi aksi Aidit dan Sjam berjalan di luar jalur organisasi yang resmi.

Posisi penting BC dengan figurnya Sjam dalam peristiwa itulah, yang kemudian sering menjadi bahan perdebatan dan analisa para pakar mengenai peristiwa tersebut. Selain posisinya yang penting, figur Sjam yang terkesan misterius, membuat kontroversi seputar dirinya tak pernah selesai.

BC adalah nama lain dari Biro Ketentaraan. Dari namanya saja sudah jelas, tugasnya adalah membangun jaringan ke tentara (ABRI). Untuk keperluan membangun jaringan (istilah saat itu “menggarap”) di ABRI, Sjam dibantu oleh
beberapa tokoh, antara lain: Pono, Bono alias Waluyo, Hamim dan Soejono Pradigdo. Sjam dan Pono lebih banyak membina hubungan dengan unsur Angkatan Darat, sedang Bono bertugas ke unsur Angkatan Udara.

Dalam melaksanakan tugasnya, BC langsung bertanggung jawab kepada Aidit, selaku Kepala Departemen Organisasi/Politbiro CC PKI. Selain namanya yang “Chusus”, jalur operasi BC juga khusus, maksudnya BC sering bertindak
di luar koordinasi resmi partai. Kekhususan lain adalah aksesnya yang langsung ke Aidit. Oleh karena beberapa keistimewaan yang dimiliki BC,keberadaan BC sendiri dalam Partai, sering dipertanyakan oleh pimpinan PKI yang lain (di luar Aidit). Bahkan beberapa saat setelah peristiwa, Sudisman ketika berbicara dengan sesama penghuni penjara, dengan sinis menyebut BC sebagai PKI ilegal.

Setidaknya menjelang peristiwa, sudah ratusan perwira (terbanyak unsur AD) yang berhasil mereka bina, hingga komitmen dengan perwira-perwira itu boleh dikata sangat solid. Beberapa orang dari perwira tersebut,
kemudian menjadi pelaku langsung dari gerakan, seperti Letkol Untung (salah satu Komandan Bataliyon pada Resimen Cakrabirawa), Kol Abdul Latief (Komandan Brigif 1 Kodam V Jaya), Brigjen Suparjo, Kol Suherman (Asisten 1 Pangdam VII Diponegoro), Kol Udara Sudiono, Mayor Udara Sujono. Yang perlu ditekankan di sini, perwira-perwira yang masuk dalam jaringan BC, tidak bisa diklaim sebagai anggota PKI. Karena mereka hanya berhubungan dengan BC, bukan dengan PKI sebagai organisasi.

Karena memakai jalur “khusus”, bukan jalur resmi, dan bersifat klandestin (rahasia). Maka hubungan atau jaringan yang dibangun BC, lebih tepat disebut ubagai konspirasi. Dengan Sjam sebagai sentral penghubung,
antara Faksi Aidit dengan unsur ABRI.

Selain perwira-perwira tersebut, yang sudah masuk kategori “lingkaran dalam”, BC juga membina hubungan dengan perwira-perwira di jajaran pimpinan ABRI, yaitu Men/Pangau Omar Dhani (lewat Bono) dan Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto (langsung “digarap” Sjam). Dalam link BC, Omar Dhani dan Soeharto bukanlah orang lain, keduanya dianggap “kawan” atau
“orang kita”. Meski belum masuk kategori “lingkaran dalam”. Bentuk hubungan seperti itu bisa tercipta, terutama karena peran Sjam. Dalam bahasa yang lebih pop, posisi Sjam adalah “kanan-kiri oke”.

Figur Sjam memang unik, banyak orang menyebutnya misterius. Itu bisa terjadi karena ada anggapan Sjam merupakan “agen ganda”, ia bekerja untuk AD dan PKI (lewat BC). Perjalanan hidupnya juga berliku. Sebelum bergabung ke
PKI, Sjam sempat menjadi kader tokoh PSI Djohan Sjahroesjah, di masa perang kemerdekaan di Jogya. Pada periode inilah, kita temukan jejak sejarah menarik, yaitu dengan adanya “Kelompok Pathok”.

Pathok adalah sebuah nama kampung di Yogya, yang sering dijadikan tempat pertemuan antara Sjam, Aidit, dan seorang perwira muda, yaitu Letkol Soeharto. Jadi perkenalan antara ketiga orang tersebut sudah lama. Terlebih
Aidit memiliki hutang budi pada Sjam, karena Sjam yang meloloskan Aidit dan Lukman, saat tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, di awal tahun 1950.
Sepulangnya Aidit dan Lukman, dari pelarian ke luar negeri, seusai Peristiwa Madiun.

Tingkat kerahasiaan jaringan yang dibangun BC sangat tinggi. Demikian rapihnya kerahasiaan itu, sampai-sampai Mayjen S. Parman, selaku Asisten I/Intelijen Men/Pangad, turut jadi korban. Padahal selaku Asisten Intelijen, Mayjen S Parman semestinya mengerti situasi yang tengah terjadi
di lingkungan ABRI dan politik nasional pada umumnya. Ketidaktahuan yang sama juga terjadi pada pimpinan PKI. Seperti terbaca dari kekesalan Sudisman di atas. Selain itu juga tampak dari ketidaksiapan PKI, dalam menghadapi
“tumpas kelor” (menumpas sampai ke akar-akarnya) beberapa waktu sesudah peristiwa.

Masih menurut sumber kami, daftar perwira yang masuk dalam jaringan BC, ada nama-nama yang rasanya mustahil masuk dalam jaringan tersebut. Maka benar tidaknya fakta tersebut, perlu ada konfirmasi atau penelitian lebih lanjut. Nama-nama perwira dimaksud adalah: Amir Machmud, Ali Murtopo, Basuki
Rachmat dan Kardono (AU).

Nama perwira lain yang perlu dicatat adalah Mayjen Pranoto Rekso Samudro, yang saat itu menjabat sebagai Asisten III/Personil Men/Pangad.
Yang menarik dari Mayjen Pranoto adalah posisinya yang ternyata tidak termasuk dalam jaringan BC, karena Pranoto lebih condong ke Faksi Nyoto.

Dari ketiga faksi dalam PB, Faksi Nyoto adalah faksi yang paling dekat dengan Presiden Sukarno. Ini dimungkinkan oleh posisi Nyoto selaku Menteri Negara, yang diperbantukan pada Presiden. Jadi antara Bung Karno, Nyoto dan Pranoto, berada dalam satu poros. Kini kalau kita ingat kembali,
penolakan Mayjen Soeharto terhadap pengangkatan Mayjen Pranoto selaku caretaker Men/Pangad saat itu, selain menunjukkan sikap pembangkangan Soeharto terhadap Presiden, bisa jadi itu adalah bagian dari “persaingan” antar faksi, karena Suharto — lewat Sjam — masuk Faksi Aidit. Sejak
sekitar setahun sebelum peristiwa, pertentangan antara Aidit dan Nyoto semakin tajam. Peranan Nyoto dalam PB sudah dikurangi, dan juga dicopot selaku redaktur “Bintang Merah”.

TEORI KETERPUTUSAN
Sehubungan dengan manuver jarintan BC, yakni poros Faksi Aidit – BC/Sjam – Unsur ABRI (Letkol Untung, Brigjen Suparjo, Kol A Latief dkk), sumber kami selanjutnya memberikan analisa, karena sumber kami sedikit-banyaknya tahu atas peristiwa tersebut. Ia mengintrodusir “Teori
Keterputusan”, untuk menjelaskan peristiwa G30S, khususnya pada episode penculikkan para jenderal. Karena sumber kami ini seorang perwira intelijen, wajar kalau analisanya bernuansa intelijen.

Dalam sebuah operasi intelijen, antara yang memanfaatkan (subyek)dengan pihak yang dimanfaatkan oleh subyek, jadi obyek atau operator, biasanya tidak ada hubungan langsung. Jadi ada keterputusan antara subyek
dan obyek, di sinilah letak “teori keterputusan” dalam peristiwa itu. Dan lagi, keterputusan antara subyek dan obyek, adalah sesuatu yang sangat biasa dalam dunia intelijen.

“Prosedur Keterputusan” sebenarnya merupakan langkah antisipasi (pengamanan), seandainya si obyek selaku operator gagal, maka pihak yang memanfaatkan (subyek), tidak bisa dikonfirmasi, dan selanjutnya bisa lepas tangan. Sekadar contoh mudah, bisa kita lihat dalam serial layar kaca
“Mission Impossible”, di mana dalam intronya, kita menyaksikan adegan, bahwa pihak pemakai (Dinas Rahasia Inggris) tak akan bertanggung jawab, jika operasi gagal.

Lalu bagaimana cara antara si subyek dan obyek berhubungan? Jawabnya mudah ditebak, yakni lewat pihak ketiga. Pihak ketiga ini berfungsi ganda, ia adalah faktor penghubung dan faktor pemutus sekaligus. Ketika operasi
akan dimulai, pihak ketiga adalah penghubung. Tapi jika kelak, ternyata operasinya gagal, maka pihak ketiga yang tadinya penghubung, kini jadi pemutus. Yaitu yang memutuskan hubungan antara subyek dan obyek, agar subyek bisa lepas tanggungjawab. Jika operasi berhasil, masing-masing pihak bisa kembali ke habitat masing-masing dengan tenang, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Sehubungan dengan peristiwa tersebut, pihak mana saja yang berperan sebagai subyek, obyek dan pihak ketiga selaku penghubung dan pemutus sekaligus? Subyek adalah CLA, obyek (operator) adalah Letkol Untung dan Lettu Doel Arief, dan pihak ketiganya atalah Poros Faksi Aidit- BC/Sjam -
Unsur ABRI. Jadi yang akan dimanfaatkan CIA dalam operasinya atalah Letkol Untung dan Lettu Doel Arief, tapi CIA tidak langsung berhubungan dengan Untung/Doel Arief, tapi lewat Poros Aidit/Sjam.

Kalau digambar secara grafis, hubungan CIA ke Poros DNA/Sjam atalah garis lurus, artinya berhubungan langsung. Demikian juga dari Poros DNA/Sjam ke Letkol Untung/Lettu Doel Arief selaku operator. Sedang CIA ke operator
(Untung/Doel Arief), adalah garis putus-putus, maksudnya tidak berhubungan langsung.

Yang menarik, bahwa Poros DNA/Sjam sebenarnya berperan lebih dari sekadar “pihak ketiga”. Dalam kemelut saat itu, mereka juga punya kepentingan politik sendiri. Jadi ada pertemuan kepentingan antara CIA dan
Poros DNA/Sjam, dan atas dasar kepentingan politik masing-masing, mereka sama-sama memanfaatkan operator yang sama (Untung/Doel Arief.)

Ternyata operasi gagal, karena ada anggota Poros Aidit/Sjam yang membelot, yakni Pangkostrad Mayjen Suharto. Karena Mayjen Suharto memiliki akses ke Faksi Aidit/Sjam dan Operator (Untung/Doel Arif), maka Suharto bisa dengan cepat pula menggulung unsur-unsur Faksi Aidit/Sjam, dan juga unsur operator. Letnan Doel Arief selaku pelaksana di lapangan, paling awal dihabisi, oleh pasukan di bawah Kol Ali Murtopo (tentu atas perintah Suharto). Letkol Untung masih sempat melarikan diri, namun akhirnya tertangkap juga, dan segera dieksekusi. ***

TNI Watch! merupakan terbitan yang dimaksudkan untuk mengawasi prilaku TNI, dari soal mutasi di lingkungan TNI, profil dan catatan perjalanan ketentaraan para perwiranya, pelanggaran-pelanggran hak asasi manusia yang dilakukan, politik TNI, senjata yang digunakan dan sebagainya. Tujuannya agar khalayak bisa mengetahuinya dan ikut mengawasi bersama-sama.

Sumber SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

taken from :http://www.progind.net/modules/smartsection/item.php?itemid=170

Comments